Seorang bertubuh gemuk berkemeja rapi dan berdasi maju kedepan, hampir memanjat pagar besi rumahku. “Pak! Bapak harus bertanggung jawab atas kami…!”
Yang lain juga menyerukan hal yang sama setelah yang depan itu berseru lantang terhadapku.
“Ya ! bapak harus bertanggung jawab terhadap kami! Bapak harus bertanggung jawab terhadap kami! Bapak harus bertanggung jawab….!”
Aku lari bersembunyi dibalik jendela. Tirainya kubuka sedikit.
“apa!, apa yang harus kupertanggung jawabkan terhadap kalian!, apakah aku pernah mencabuli anak kalian!” teriakku lantang bersembunyi.
“Lebih parah!, bapak telah mencabuli paksa kami semua!” teriak salah satu diantara mereka.
Bangsat! fitnah!, kapan aku pernah bergumul dengan mereka, bahkan kenalpun tidak. Mungkin mereka
“Pak! Jangan bersembunyi seperti pengecut!, apakah bapak lupa dengan kejahatan bapak, apakah bapak lupa telah memperbudak kami tanpa membayar keringat kami seujung rambut pun! Apakah bapak lupa!. Bapak harus mempertanggung jawabkan semuanya!” kata orang yang hampir memanjat pagar rumahku.
“Ya! Bapak harus mempertanggung jawabkan semua kepada kami!” lanjut mereka yang ada di belakangnya.
“Apa! kpan aku pernah berbuat salah kepada kalian! kapan aku pernah memperbudak kalian! Kalian tahukan, bahwa aku hanyalah seorang penulis!” kataku sambil bersembunyi dibalik jendela yang tirainya ku buka sedikit.
Jarak jendela rumah depan dan pagar besi tempat mereka berdemonstrasi hanya sekitar 10 meter, namun suara-suara mereka terdengar jelas di daun telingaku. Memekakkan sekali, membuat aku ingin menutup telinga, tapi tidak bisa. Tiba-tiba salah seorang lagi maju mendampingi seorang yang tadi. Badannya kurus kering, mukanya serampangan, rambutnya mbladus, bajunya sobek-sobek, tangannya mengepal-ngepal ke arahku bersembunyi.
“Hai bapak bangsat! Lihatlah diriku! Ini akibat perbuatan bapak!”
Hah, perbuatanku, apa yang telah aku perbuat pada orang itu, bahkan kenalpun tidak. Kasihan juga melihat orang-orang itu. Baiklah, kalau aku pernah melakukan perbuatan kotor terhadap mereka, aku siap mati menebus kesalahanku. Aku keluar dari balik jendela, lalu mendekat perlahan ke kerumunan itu. Jujur saja, aku pun takut, takut sewaktu-waktu mereka jadi beringas. Seperti yang selama ini kuperhatikan di televisi,
“Oke, oke, tenang. Kita bisa berbicara baik-baik, kita bisa rundingkan semua ini dengan cara yang beradap, bukan cara yang biadap..” kataku sambil berjalan sangat pelan sembari memberikan isyarat tenang. Namun aku tetap was-was, sambil menatap muka-muka mereka yang bergemeretak gerahamnya.
Mereka semua agak tenang dengan kedatanganku. Tetapi tetap saja tatapan mereka sinis, seakan aku koruptor yang jatuh miskin dan mereka adalah korban-korban kebejatanku. Aku menghentikan langkah sekitar empat meter didepan mereka. Bagiku cukup dekat, mengingat kakiku yang gemetaran menahan takut.
“sebenarnya ada apa, sehingga kalian beramai-ramai mendatangiku seperti ini..” ucapku perlahan.
“Hah! bapak tak sadar ya! telah menjadikan kami seperti ini! sehingga kami menjadi mahluk bodoh di daratan bumi!” kata orang kurus tadi membentakku.
“Ya! Bapak telah menjadikan kami seperti ini! Bapak telah menjadikan kami seperti ini! Bapak telah menjadikan kami seperti ini…” sambung mereka semua yang berada di belakangnya sahut menyahut.
“Tenang! tenang semua…..!” kata orang yang bertubuh gemuk menenangkan mereka yang dibelakangnya. Semua menjadi tenang kembali.
Aku jadi takut lagi. Ingin rasanya lari masuk rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat dan menelpon polisi anti huru-hara. Tapi apa jadinya nanti, mengetahui bahwa seorang penulis lari seperti pengecut, seperti orang yang tak punya harga diri. padahal aku
“Oke, oke, apapun aspirasi kalian, tolong bicarakan dengan baik, dan tolong jangan mengedepankan emosi. Aku benar-benar tak tahu apa salahku….” Ucapku seraya memberi isyarat tenang kepada mereka.
“Kami minta keadilan pak! bapak telah memperlakukan kami semena-mena….!”
“Oke, oke, kita bicarakan didalam rumahku, aku minta perwakilan dari kalian, rumahku tak akan mungkin muat jika dimasuki kalian semua…”
“Aku saja!, aku saja!, aku saja!, aku saja…!” kata mereka semua berebut.
“Tenang! sekali lagi tenang! Kita semua memperjuangkan hal yang sama! Biar aku saja yang memperjuangkan hak kita semua..!” kata orang gemuk.
Mereka semua reda kembali. Orang gemuk sepertinya punya pengaruh terhadap mereka. Aku jadi curiga, jangan-jangan orang gemuk ini yang telah menggerakkan mereka hingga berdemonstrasi seperti ini.
“Aku perlu dua orang saja untuk berdialog. Tapi tolong, siapapun orangnya, harus bisa berfikir jernih serta mengedepankan rasio dari pada emosi..” ucapku lagi.
“Baik!, aku ikut kau orang gemuk….” Kata orang kurus seraya memegang pundak orang yang gemuk.
Pintu gerbang pagar besi perlahan ku buka. Was-was tetap bergemuruh di otakku. Takut mereka sewaktu-waktu berubah pikiran dan menyeretku keluar. Orang gemuk dan orang kurus masuk. Matanya tetap sinis terhadapku. Tingkahnya sok sekali, menantangku dengan bahasa tubuh nya yang membusung. Setelah mereka berdua masuk pagar, kututup lagi gerbang tadi lalu kuajak mereka masuk rumahku.
“Hidup orang gemuk! hidup orang kurus! perjuangkan nasib kita! bantai penulis! bantai penulis! bantai penulis……..” kata mereka yang ada diluar pagar.
Sementara orang kurus dan orang gemuk melempar senyum kecil kepada mereka yang berada diluar seraya mengepalkan tangannya dan membumbungkannya ke atas “Hidup orang fiktif!” ucapnya.
Kami bertiga masuk ke rumahku. Duduk di ruang tamu, yang ku khususkan untuk tamu. Orang gemuk dan orang kurus duduk di satu kursi sofa yang lebih panjang dari kursi sofa yang aku duduki. Posisi mereka berhadapan dengan ku. Sehingga tajamnya mata mereka berdua tertatap jelas olehku.
“Tunggu, aku kebelakang sebentar..” kataku sambil beranjak kebelakang.
Mata mereka terbelalak kearahku. Sinis sekali tatapannya, seakan aku mau kabur dari mereka.
“Tidak, tenang saja, aku tak akan kabur…”
Aku kedapur, membuatkan kopi untukku dan untuk mereka. Bagaimanapun mereka tamuku, harus ku hormati. Sementara sayup-sayup ku dengar diluar
Aku kembali ke ruang tamu sambil membawa tiga gelas kopi. Satu untukku, satu untuk orang gemuk, dan satu untuk orang kurus.
“Silahkan diminum…”
Mereka saling bertatapan. Dan menatap curiga terhadapku.
“Tenanglah, aku jamin tak akan ada arsenik di dalam kopi itu..” kataku.
“kami tak percaya ucapanmu penulis!” bentak mereka serempak.
“Oke, akan kucicipi kopimu..” kataku seraya menyeruput kopi mereka satu persatu.
“Kalian sudah percaya…?”
“Ya, kali ini kami percaya…”
Mereka berdua meminum kopi yang ku buat.
“Apakah gerangan yang membuat kalian berdemonstrasi terhadapku..” kataku membuka permasalahan.
“Kau sungguh dzalim penulis..!” kata orang kurus membentak terhadapku. Tangannya mengacung tepat didepan mukaku.
“Apa yang mendasarimu mengatakan aku orang Dzalim, apakah aku pernah mendzalimimu?”
“Kau sungguh kurang ajar penulis!, semuanya yang terjadi padaku kini gara-gara ulahmu!, mengapa kau jadikan aku badut-badut peliharaanmu, yang dapat kau mainkan seenak batok kepalamu! Mengapa kau jadikan kami boneka yang harus selalu menuruti apa kata pikiranmu!” kata orang gendut.
“Kau tahu penulis, aku sangat menderita ketika kau jadikan aku seorang kaya yang sombong. Aku selalu di caci maki, tubuh gendutku ini mereka pikir hasil dari perbuatan kotorku, jas dan dasiku mereka pikir hasil dari uang korup. Terlebih lagi, kau jadikan aku yang tamak harta, yang pada akhirnya terkubur oleh uang-uang kertas yang bertumpuk. Kau juga menyuruhku untuk gila wanita, tak pernah memikirkan keluarga, penghianat, sampai jadi anjing penjilat penguasa. Apakah kau tidak merasa itu penulis?!” kata orang gendut melanjutkan lagi.
“Dan aku penulis, kau jadikan aku orang miskin yang sehari-harinya harus menelan pil pahit kehidupan. Ketika pagi belum menyingsih, kau suruh aku bangun untuk berjalan ke
“Bukan itu saja, tengoklah mereka diluar. Lihatlah Ranti, yang kau jadikan pelacur, dia selalu merintih kesakitan menahan kemaluannya yang nyeri!. Lihatlah Mat garong, yang seumur hidupnya tak tenang karena dikejar-kejar polisi karena kau jadikan perampok yang bengis!. Lihatlah Ilham, bocah kecil itu kini menanggung malu karena kau jadikan anak haram!. Dan Ummi, mengapa kau harus menjadikannya wanita salehah padahal dia lebih menikmati hidup bila menjadi wanita jalang?! ” tegas orang gendut.
“Dia, lihatlah dia!” orang kurus menambahi, seraya mendekati jendela dan membuka tirainya. Tangannya menunjuk ke kerumunan
“Itu! Yang tangannya buntung. Kau apakan dia penulis! Hingga tangannya buntung begitu, mengapa tidak sekalian saja kedua tangannya kau buntungkan. Dan itu! Yang matanya buta!. Benar-benar kelewatan kau penulis, kau butakan matanya, tapi kau suruh ia jadi dosen disebuah perguruan tinggi negeri. Apa kau tak kasihan melihat dia tiap hari dicaci maki mahasiswanya karena ia dosen buta?!. Lihat! Lihatlah perempuan anggun itu, mengapa kau jadikan ia perempuan anggun sedang kau menjadikannya tidak punya payu dara, sungguh bedebah!. Itu lagi, yang disana!, pria tampan bermata biru, mengapa kau harus memotong kemaluannya penulis?!, kejam!” kata orang kurus sambil menunduk lesu penuh amarah.
“O..o..o, jadi begitu maksud kedatangan kalian, O..o..o jadi itu alasan kalian demonstrasi di depan rumahku…” kataku sambil tersenyum menatap mereka berdua. Sepertinya rasa takutku benar-benar hilang kini. “Huh, mereka hanya bonekaku yang sedang bermain-main” bisikku dalam hati.
“Lantas…., apa mau kalian dariku…” ucapku lagi.
“Sudahkah cukup jelas penulis?, kami minta keadilan dari mu!, kami minta posisi yang semestinya!, kami minta hak-hak kami!, dan kami minta jaminan hidup yang layak!” orang gendut berbicara lantang.
“Aku kira, aku telah memenuhi semuanya, kalian saja yang tak pernah bersyukur..” jawabku ringan.
“Bohong! fiktif!, kau telah memasung hak bicara kami penulis! Kau telah merenggut ruang gerak kami penulis! Kau penguasa otoriter yang tak mendengar jeritan rakyat yang kau ciptakan!, kami punya kehidupan sendiri penulis! kami punya kehidupan!” sambil menggebrak meja, orang kurus angkat bicara.
“Dengan kata lain, kalian menuntutku karena aku semena-mena menjadikan diri kalian seperti keinginanku, begitu? Dan kalian menuntut untuk kuberi kebebasan, begitu? Kalian juga menginginkan aku memperhatikan kesejahteraan dan kelayakan hidup kalian, begitu?. Lalu, apakah dengan begitu kalian akan tetap hidup? Apakah kalian masih punya nyawa? Apakah kalian masih bisa bernapas? Apakah kalian masih berjalan sendiri tanpaku?”
“Dengar penulis, sekali lagi dengar, kami punya kehidupan sendiri. Campur tanganmu hanya mengakibatkan kecacatan pada tubuh kami, kami adalah kami, dan kau adalah kau. Kau bukan kami, dan kami tak akan pernah jadi kau!” kata orang gendut membentakku.
“Dan ingat penulis, jika kau tak kabulkan tuntutan kami, jangan salahkan kami kalau kami bertindak anarkis. Kau tidak maukan jasadmu jadi abu?” yang kurus menambahi.
Aku terdiam sejenak. Memperhatikan mimik muka mereka dengan tersenyum kecil. “bisa apa kalian terhadapku, aku yang menciptakan kalian….” ucapku dalam hati. “Ah, apa salahnya menyenangkan mereka sekali-kali..” bsikku lagi dalam hati.
“Oke, tuntutan kalian akan ku kabulkan. Aku berjanji tidak akan semena-mena lagi terhadap kalian, aku berjanji tidak akan memasung gerak kalian, akan mengembalikan hak bicara kalian, akan memperhatikan kelayakan hidup kalian…”.
Sekali lagi mereka saling menatap. Lalu berbalik menatap ke arahku. Sekali lagi mereka curiga, sangat curiga.
“Ku jamin aku tidak berbohong. Aku berjanji, jika aku berbohong, aku akan berhenti menjadi penulis.., bagaimana, masih tak percaya?” kataku menawarkan kepada mereka.
Mereka kembali saling pandang. Muka mereka yang tadi tampak garang, sekarang berubah.
“Baiklah penulis, kami percaya kepadamu…” jawab orang gendut.
“Dan jangan lupa ucapanmu yang tadi penulis, perihal kau tidak akan menjadi penulis lagi jika kau melanggar janji. Jika kau lupa akan ucapanmu, akan kami kerahkan
“Baiklah. Namun tidak adil rasanya jika hanya kalian saja yang menutut. Aku menjamin aku tak akan mengingkari omonganku, namun ada syaratnya..” ucapku menawarkan.
“Tidak penulis!, tidak ada syarat apapun untuk ini..” kata yang kurus menyela.
“Biarkanlah Dia bicara dulu orang kurus, kalau nanti syaratnya memberatkan kita, jangan di setujui…” sela orang gemuk bijaksana.
“baiklah, apa syaratnya…” tambah orang kurus lagi.
“Sebenarnya sederhana saja. Kalau aku tadi dituntut untuk merealisasikan apa mau kalian, sekarang aku minta kepada kalian untuk menghormati hak-hak diriku sebagai Penulis, simpel
mereka saling pandang, kemudian berbisik-bisik, lalu mengangguk bersama.
“Ya, kami setuju penulis..” kata mereka berdua serempak seraya berdiri sambil menyodorkan tangannya.
Aku pun berdiri. Menyalami mereka satu seraya memberi isyarat sepakat. Mereka berdua pun memberi isyarat kesepakatan.
“Baik penulis, kami akan sampaikan kesepakatan ini ke mereka yang lain. Semoga kesepakatan ini bisa kita pertanggung jawabkan bersama” tegas orang gendut.
“Baik, terima kasih…” balasku.
Mereka berdua bergegas meninggalkan ruang tamuku. Aku mengikuti mereka dari belakang. Setelah mereka keluar pintu, yang ada di luar pagar terdiam sejenak. Kemudian orang kurus dan orang gendut berseru, “Kita bebas! Kita bebas! Kita bebas…..!”. Dan mereka yang ada di luar pagar kembali bersorak beramai-ramai, “Hidup kebebasan! Hidup kebebasan! Hidup kebebasan…!”. Lalu mereka beranjak menjauh dari pagar rumahku.
Aku tersenyum sambil menatap mereka pergi. Aku kembali duduk di kursi teras, dan menikmati kopi Lampung serta lintingan tembakau Madura. Ternyata mereka bukan