Kamis, 25 Oktober 2007

DEMONSTRASI PARA TOKOH

Gila! sungguh-sungguh gila!, aku kepanikan ketika mereka beramai-ramai berdemonstrasi di luar pagar rumahku ketika aku lagi santai, menikmati segelas kopi Lampung dan sebatang lintingan tembakau Madura. Bangsat! Mau apa mereka kemari. Apa salahku sehingga aku di demonstrasi. Padahal aku bukan pejabat JPS yang menyelundupkan Raskin. Aku bukan jajaran jendral yang menghilangkan aktivis-aktivis pergerakan. Aku juga bukan anggota parlemen yang menandatangani tender fiktif. Aku hanyalah penulis, mengapa aku didemonstrasi. Kurang ajar! Apakah mereka kurang kerjaan, datang di luar pagar rumahku dengan sepanduk-sepanduk penentangan. Mau apa mereka, mau membakar rumahku?, atau mau membantaiku beramai-ramai?.

Seorang bertubuh gemuk berkemeja rapi dan berdasi maju kedepan, hampir memanjat pagar besi rumahku. “Pak! Bapak harus bertanggung jawab atas kami…!”

Yang lain juga menyerukan hal yang sama setelah yang depan itu berseru lantang terhadapku.

“Ya ! bapak harus bertanggung jawab terhadap kami! Bapak harus bertanggung jawab terhadap kami! Bapak harus bertanggung jawab….!”

Aku lari bersembunyi dibalik jendela. Tirainya kubuka sedikit.

“apa!, apa yang harus kupertanggung jawabkan terhadap kalian!, apakah aku pernah mencabuli anak kalian!” teriakku lantang bersembunyi.

“Lebih parah!, bapak telah mencabuli paksa kami semua!” teriak salah satu diantara mereka.

Bangsat! fitnah!, kapan aku pernah bergumul dengan mereka, bahkan kenalpun tidak. Mungkin mereka massa suruhan seseorang yang tertembak tulisan-tulisanku, pasti!

“Pak! Jangan bersembunyi seperti pengecut!, apakah bapak lupa dengan kejahatan bapak, apakah bapak lupa telah memperbudak kami tanpa membayar keringat kami seujung rambut pun! Apakah bapak lupa!. Bapak harus mempertanggung jawabkan semuanya!” kata orang yang hampir memanjat pagar rumahku.

“Ya! Bapak harus mempertanggung jawabkan semua kepada kami!” lanjut mereka yang ada di belakangnya.

“Apa! kpan aku pernah berbuat salah kepada kalian! kapan aku pernah memperbudak kalian! Kalian tahukan, bahwa aku hanyalah seorang penulis!” kataku sambil bersembunyi dibalik jendela yang tirainya ku buka sedikit.

Jarak jendela rumah depan dan pagar besi tempat mereka berdemonstrasi hanya sekitar 10 meter, namun suara-suara mereka terdengar jelas di daun telingaku. Memekakkan sekali, membuat aku ingin menutup telinga, tapi tidak bisa. Tiba-tiba salah seorang lagi maju mendampingi seorang yang tadi. Badannya kurus kering, mukanya serampangan, rambutnya mbladus, bajunya sobek-sobek, tangannya mengepal-ngepal ke arahku bersembunyi.

“Hai bapak bangsat! Lihatlah diriku! Ini akibat perbuatan bapak!”

Hah, perbuatanku, apa yang telah aku perbuat pada orang itu, bahkan kenalpun tidak. Kasihan juga melihat orang-orang itu. Baiklah, kalau aku pernah melakukan perbuatan kotor terhadap mereka, aku siap mati menebus kesalahanku. Aku keluar dari balik jendela, lalu mendekat perlahan ke kerumunan itu. Jujur saja, aku pun takut, takut sewaktu-waktu mereka jadi beringas. Seperti yang selama ini kuperhatikan di televisi, massa yang banyak dan termakan provokasi, nalarnya menjadi macet. Tak heran kalau mereka jadi anjing yang mencacah-cacah tulang. Dan kalau saja tulang itu adalah aku?, matilah aku.

“Oke, oke, tenang. Kita bisa berbicara baik-baik, kita bisa rundingkan semua ini dengan cara yang beradap, bukan cara yang biadap..” kataku sambil berjalan sangat pelan sembari memberikan isyarat tenang. Namun aku tetap was-was, sambil menatap muka-muka mereka yang bergemeretak gerahamnya.

Mereka semua agak tenang dengan kedatanganku. Tetapi tetap saja tatapan mereka sinis, seakan aku koruptor yang jatuh miskin dan mereka adalah korban-korban kebejatanku. Aku menghentikan langkah sekitar empat meter didepan mereka. Bagiku cukup dekat, mengingat kakiku yang gemetaran menahan takut.

“sebenarnya ada apa, sehingga kalian beramai-ramai mendatangiku seperti ini..” ucapku perlahan.

“Hah! bapak tak sadar ya! telah menjadikan kami seperti ini! sehingga kami menjadi mahluk bodoh di daratan bumi!” kata orang kurus tadi membentakku.

“Ya! Bapak telah menjadikan kami seperti ini! Bapak telah menjadikan kami seperti ini! Bapak telah menjadikan kami seperti ini…” sambung mereka semua yang berada di belakangnya sahut menyahut.

“Tenang! tenang semua…..!” kata orang yang bertubuh gemuk menenangkan mereka yang dibelakangnya. Semua menjadi tenang kembali.

Aku jadi takut lagi. Ingin rasanya lari masuk rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat dan menelpon polisi anti huru-hara. Tapi apa jadinya nanti, mengetahui bahwa seorang penulis lari seperti pengecut, seperti orang yang tak punya harga diri. padahal aku kan tidak bersalah?

“Oke, oke, apapun aspirasi kalian, tolong bicarakan dengan baik, dan tolong jangan mengedepankan emosi. Aku benar-benar tak tahu apa salahku….” Ucapku seraya memberi isyarat tenang kepada mereka.

“Kami minta keadilan pak! bapak telah memperlakukan kami semena-mena….!”

“Oke, oke, kita bicarakan didalam rumahku, aku minta perwakilan dari kalian, rumahku tak akan mungkin muat jika dimasuki kalian semua…”

“Aku saja!, aku saja!, aku saja!, aku saja…!” kata mereka semua berebut.

“Tenang! sekali lagi tenang! Kita semua memperjuangkan hal yang sama! Biar aku saja yang memperjuangkan hak kita semua..!” kata orang gemuk.

Mereka semua reda kembali. Orang gemuk sepertinya punya pengaruh terhadap mereka. Aku jadi curiga, jangan-jangan orang gemuk ini yang telah menggerakkan mereka hingga berdemonstrasi seperti ini.

“Aku perlu dua orang saja untuk berdialog. Tapi tolong, siapapun orangnya, harus bisa berfikir jernih serta mengedepankan rasio dari pada emosi..” ucapku lagi.

“Baik!, aku ikut kau orang gemuk….” Kata orang kurus seraya memegang pundak orang yang gemuk.

Pintu gerbang pagar besi perlahan ku buka. Was-was tetap bergemuruh di otakku. Takut mereka sewaktu-waktu berubah pikiran dan menyeretku keluar. Orang gemuk dan orang kurus masuk. Matanya tetap sinis terhadapku. Tingkahnya sok sekali, menantangku dengan bahasa tubuh nya yang membusung. Setelah mereka berdua masuk pagar, kututup lagi gerbang tadi lalu kuajak mereka masuk rumahku.

“Hidup orang gemuk! hidup orang kurus! perjuangkan nasib kita! bantai penulis! bantai penulis! bantai penulis……..” kata mereka yang ada diluar pagar.

Sementara orang kurus dan orang gemuk melempar senyum kecil kepada mereka yang berada diluar seraya mengepalkan tangannya dan membumbungkannya ke atas “Hidup orang fiktif!” ucapnya.

Kami bertiga masuk ke rumahku. Duduk di ruang tamu, yang ku khususkan untuk tamu. Orang gemuk dan orang kurus duduk di satu kursi sofa yang lebih panjang dari kursi sofa yang aku duduki. Posisi mereka berhadapan dengan ku. Sehingga tajamnya mata mereka berdua tertatap jelas olehku.

“Tunggu, aku kebelakang sebentar..” kataku sambil beranjak kebelakang.

Mata mereka terbelalak kearahku. Sinis sekali tatapannya, seakan aku mau kabur dari mereka.

“Tidak, tenang saja, aku tak akan kabur…”

Aku kedapur, membuatkan kopi untukku dan untuk mereka. Bagaimanapun mereka tamuku, harus ku hormati. Sementara sayup-sayup ku dengar diluar sana, “Bantai penulis! bantai penulis! bantai penulis…..”.

Aku kembali ke ruang tamu sambil membawa tiga gelas kopi. Satu untukku, satu untuk orang gemuk, dan satu untuk orang kurus.

“Silahkan diminum…”

Mereka saling bertatapan. Dan menatap curiga terhadapku.

“Tenanglah, aku jamin tak akan ada arsenik di dalam kopi itu..” kataku.

“kami tak percaya ucapanmu penulis!” bentak mereka serempak.

“Oke, akan kucicipi kopimu..” kataku seraya menyeruput kopi mereka satu persatu.

“Kalian sudah percaya…?”

“Ya, kali ini kami percaya…”

Mereka berdua meminum kopi yang ku buat.

“Apakah gerangan yang membuat kalian berdemonstrasi terhadapku..” kataku membuka permasalahan.

“Kau sungguh dzalim penulis..!” kata orang kurus membentak terhadapku. Tangannya mengacung tepat didepan mukaku.

“Apa yang mendasarimu mengatakan aku orang Dzalim, apakah aku pernah mendzalimimu?”

“Kau sungguh kurang ajar penulis!, semuanya yang terjadi padaku kini gara-gara ulahmu!, mengapa kau jadikan aku badut-badut peliharaanmu, yang dapat kau mainkan seenak batok kepalamu! Mengapa kau jadikan kami boneka yang harus selalu menuruti apa kata pikiranmu!” kata orang gendut.

“Kau tahu penulis, aku sangat menderita ketika kau jadikan aku seorang kaya yang sombong. Aku selalu di caci maki, tubuh gendutku ini mereka pikir hasil dari perbuatan kotorku, jas dan dasiku mereka pikir hasil dari uang korup. Terlebih lagi, kau jadikan aku yang tamak harta, yang pada akhirnya terkubur oleh uang-uang kertas yang bertumpuk. Kau juga menyuruhku untuk gila wanita, tak pernah memikirkan keluarga, penghianat, sampai jadi anjing penjilat penguasa. Apakah kau tidak merasa itu penulis?!” kata orang gendut melanjutkan lagi.

“Dan aku penulis, kau jadikan aku orang miskin yang sehari-harinya harus menelan pil pahit kehidupan. Ketika pagi belum menyingsih, kau suruh aku bangun untuk berjalan ke kota mengais rejeki di tong sampah. Ketika siang panas memanyungi, kau tak suruh aku beristirahat barang sejenak, karena ‘orang-orang yang beristirahat saat berjuang’ adalah orang yang pemalas katamu. Aku pun menurut saja. Namun ketika matahari tenggelam, hanya sepeser rupiah yang kudapat, itu saja hanya cukup buat beli nasi ‘kucing’, dua batang rokok, serta segelas air mineral. Kau sungguh biadap penulis!” kata orang kurus dengan intonasi tinggi.

“Bukan itu saja, tengoklah mereka diluar. Lihatlah Ranti, yang kau jadikan pelacur, dia selalu merintih kesakitan menahan kemaluannya yang nyeri!. Lihatlah Mat garong, yang seumur hidupnya tak tenang karena dikejar-kejar polisi karena kau jadikan perampok yang bengis!. Lihatlah Ilham, bocah kecil itu kini menanggung malu karena kau jadikan anak haram!. Dan Ummi, mengapa kau harus menjadikannya wanita salehah padahal dia lebih menikmati hidup bila menjadi wanita jalang?! ” tegas orang gendut.

“Dia, lihatlah dia!” orang kurus menambahi, seraya mendekati jendela dan membuka tirainya. Tangannya menunjuk ke kerumunan massa di luar.

“Itu! Yang tangannya buntung. Kau apakan dia penulis! Hingga tangannya buntung begitu, mengapa tidak sekalian saja kedua tangannya kau buntungkan. Dan itu! Yang matanya buta!. Benar-benar kelewatan kau penulis, kau butakan matanya, tapi kau suruh ia jadi dosen disebuah perguruan tinggi negeri. Apa kau tak kasihan melihat dia tiap hari dicaci maki mahasiswanya karena ia dosen buta?!. Lihat! Lihatlah perempuan anggun itu, mengapa kau jadikan ia perempuan anggun sedang kau menjadikannya tidak punya payu dara, sungguh bedebah!. Itu lagi, yang disana!, pria tampan bermata biru, mengapa kau harus memotong kemaluannya penulis?!, kejam!” kata orang kurus sambil menunduk lesu penuh amarah.

“O..o..o, jadi begitu maksud kedatangan kalian, O..o..o jadi itu alasan kalian demonstrasi di depan rumahku…” kataku sambil tersenyum menatap mereka berdua. Sepertinya rasa takutku benar-benar hilang kini. “Huh, mereka hanya bonekaku yang sedang bermain-main” bisikku dalam hati.

“Lantas…., apa mau kalian dariku…” ucapku lagi.

“Sudahkah cukup jelas penulis?, kami minta keadilan dari mu!, kami minta posisi yang semestinya!, kami minta hak-hak kami!, dan kami minta jaminan hidup yang layak!” orang gendut berbicara lantang.

“Aku kira, aku telah memenuhi semuanya, kalian saja yang tak pernah bersyukur..” jawabku ringan.

“Bohong! fiktif!, kau telah memasung hak bicara kami penulis! Kau telah merenggut ruang gerak kami penulis! Kau penguasa otoriter yang tak mendengar jeritan rakyat yang kau ciptakan!, kami punya kehidupan sendiri penulis! kami punya kehidupan!” sambil menggebrak meja, orang kurus angkat bicara.

“Dengan kata lain, kalian menuntutku karena aku semena-mena menjadikan diri kalian seperti keinginanku, begitu? Dan kalian menuntut untuk kuberi kebebasan, begitu? Kalian juga menginginkan aku memperhatikan kesejahteraan dan kelayakan hidup kalian, begitu?. Lalu, apakah dengan begitu kalian akan tetap hidup? Apakah kalian masih punya nyawa? Apakah kalian masih bisa bernapas? Apakah kalian masih berjalan sendiri tanpaku?”

“Dengar penulis, sekali lagi dengar, kami punya kehidupan sendiri. Campur tanganmu hanya mengakibatkan kecacatan pada tubuh kami, kami adalah kami, dan kau adalah kau. Kau bukan kami, dan kami tak akan pernah jadi kau!” kata orang gendut membentakku.

“Dan ingat penulis, jika kau tak kabulkan tuntutan kami, jangan salahkan kami kalau kami bertindak anarkis. Kau tidak maukan jasadmu jadi abu?” yang kurus menambahi.

Aku terdiam sejenak. Memperhatikan mimik muka mereka dengan tersenyum kecil. “bisa apa kalian terhadapku, aku yang menciptakan kalian….” ucapku dalam hati. “Ah, apa salahnya menyenangkan mereka sekali-kali..” bsikku lagi dalam hati.

“Oke, tuntutan kalian akan ku kabulkan. Aku berjanji tidak akan semena-mena lagi terhadap kalian, aku berjanji tidak akan memasung gerak kalian, akan mengembalikan hak bicara kalian, akan memperhatikan kelayakan hidup kalian…”.

Sekali lagi mereka saling menatap. Lalu berbalik menatap ke arahku. Sekali lagi mereka curiga, sangat curiga.

“Ku jamin aku tidak berbohong. Aku berjanji, jika aku berbohong, aku akan berhenti menjadi penulis.., bagaimana, masih tak percaya?” kataku menawarkan kepada mereka.

Mereka kembali saling pandang. Muka mereka yang tadi tampak garang, sekarang berubah. Ada titik cerah dan kepuasan pada rona muka mereka. Mereka saling berbisik, namun aku tak dapat mendengar bisikan mereka.

“Baiklah penulis, kami percaya kepadamu…” jawab orang gendut.

“Dan jangan lupa ucapanmu yang tadi penulis, perihal kau tidak akan menjadi penulis lagi jika kau melanggar janji. Jika kau lupa akan ucapanmu, akan kami kerahkan massa lebih besar untuk menurunkanmu dari kursi seorang penulis..” tambah orang kurus.

“Baiklah. Namun tidak adil rasanya jika hanya kalian saja yang menutut. Aku menjamin aku tak akan mengingkari omonganku, namun ada syaratnya..” ucapku menawarkan.

“Tidak penulis!, tidak ada syarat apapun untuk ini..” kata yang kurus menyela.

“Biarkanlah Dia bicara dulu orang kurus, kalau nanti syaratnya memberatkan kita, jangan di setujui…” sela orang gemuk bijaksana.

“baiklah, apa syaratnya…” tambah orang kurus lagi.

“Sebenarnya sederhana saja. Kalau aku tadi dituntut untuk merealisasikan apa mau kalian, sekarang aku minta kepada kalian untuk menghormati hak-hak diriku sebagai Penulis, simpel kan…”

mereka saling pandang, kemudian berbisik-bisik, lalu mengangguk bersama.

“Ya, kami setuju penulis..” kata mereka berdua serempak seraya berdiri sambil menyodorkan tangannya.

Aku pun berdiri. Menyalami mereka satu seraya memberi isyarat sepakat. Mereka berdua pun memberi isyarat kesepakatan.

“Baik penulis, kami akan sampaikan kesepakatan ini ke mereka yang lain. Semoga kesepakatan ini bisa kita pertanggung jawabkan bersama” tegas orang gendut.

“Baik, terima kasih…” balasku.

Mereka berdua bergegas meninggalkan ruang tamuku. Aku mengikuti mereka dari belakang. Setelah mereka keluar pintu, yang ada di luar pagar terdiam sejenak. Kemudian orang kurus dan orang gendut berseru, “Kita bebas! Kita bebas! Kita bebas…..!”. Dan mereka yang ada di luar pagar kembali bersorak beramai-ramai, “Hidup kebebasan! Hidup kebebasan! Hidup kebebasan…!”. Lalu mereka beranjak menjauh dari pagar rumahku.

Aku tersenyum sambil menatap mereka pergi. Aku kembali duduk di kursi teras, dan menikmati kopi Lampung serta lintingan tembakau Madura. Ternyata mereka bukan massa suruhan orang yang ‘tertembak’ tulisanku, mereka massa suruhanku sendiri.

Perempuan Pembuat Sajak

Hariku baru saja dimakan harimau

Tubuhku terkoyak, jadi serpihan, lebur kecil-kecil

Seperti kertas sobek-sobek lalu tertiup angin masuk Lumpur

Semuanya terasa mati

Semuanya sudah hilang

Harimau itu bermata galak,

Bertaring panjang dan berkuku tajam

Mendatangiku setiap hari

Entah ini sajak yang keberapa, yang jelas aku selalu membaca sajak-sajaknya. Dan aku selalu mengumpulkan sajak-sajak yang dibuatnya. Larik-larik kata indah, penuh gejolak dan rintihan. Dan entah mengapa aku sangat menikmati sajak-sajak yang dibuatnya. Aku juga tak pernah tahu mengapa aku, setiap hari, menungguinya diluar ruangan untuk menunggu angin menerbangkan sajaknya ke arahku. Terbang melewati jendela yang berterali besi. Setelah sajak itu terhempas ke arahku, aku selalu duduk di bangku ruang tunggu ruangannya sambil menghayati dan menyelami.

Sav, aku ingat kamu, ketika aku membaca-baca sajak-sajak perempuan itu. Kau dimana?, apakah kau sudah pulang?, atau kau masih menari di Sana?. Aku sekarang sendirian dan terkurung. Perempuan itu sungguh jahanam, mengapa membuat sajak yang mengingatkanku padamu. Perempuan itu sungguh laknat!. Kadang jika aku, jika napasku, jika darahku mendesir dan ingin meledak, aku remas-remas sajak itu, lalu ku buang. Dan ingin aku masuk ke ruangannya. Ingin sekali kubunuh perempuan pembuat sajak itu. Tapi ruangannya selalu terkunci. Dan ketika aku hendak mendobraknya, beberapa orang memegangiku. Aku pun tertahan, dan tak bisa berbuat lebih jauh. Esoknya, aku datang lagi karena ingin menikmati sajak yang dibuatnya hari itu. Selalu seperti itu.

Ketika perempuan itu selesai membuat sajak, tiba-tiba dia menatapku yang menatapnya dari jendela ini. Dia mendekap lembaran sajaknya, seperti takut. Sorot matanya makin lama makin melemah. Raut mukanya semakin ketakutan melihatku, seperti melihat setan.

“Harimau, Harimau…”, lirih-lirih dia mengulang-ulang kata itu, sambil tetap mendekap sajaknya. Matanya masih menyorotiku. Aku masih memperhatikannya. Aku ingin membaca sajaknya lagi hari ini. Tolong, berikan sajak itu, aku ingin membacanya, aku ingin mengingat Savitri, perempuanku dulu yang kini terbang ke langit setelah aku membuatnya “kotor” dan luka-luka. Bisikku dalam hati.

Tanganku ku julurkan melewati teralis jendela. Perempuan itu tampak menggelengkan kepalanya, dan semakin mendekap erat sajak yang baru dibuatnya. Tanganku masih menjulur dan tetahan di situ. Dia tak mau memberikan sajaknya, dan tanganku kutarik lagi. Dia sangat ketakutan.

“Bolehkah aku membaca sajakmu, hari ini saja, aku berjanji akan pergi dan tak akan membaca lagi sajak-sajakmu…” kataku. Dia menggeleng.

“Mengapa?, mengapa aku tidak boleh membaca sajakmu yang indah itu?, perempuan manis?” kataku lagi. Dia masih menggeleng.

“Tidak!, kau tidak boleh membaca sajak-sajak ku!, kau harimau jahat!, kau keji!” tiba-tiba saja dia menyalak seperti anjing. Aku sangat bingung dengan kata-katanya. Mengapa aku disebutnya harimau?.

“Aku bukan harimau?, aku adalah laki-laki yang selalu menunggu sajak-sajakmu, diluar sini. Sajak-sajakmu adalah sajak-sajak Savitri, perempuanku dulu, tapi kini sudah pergi, pergi ke langit!” kataku sambil menunjuk arah langit. “Kamu tahu Savitri?, tidak?, dia perempuan seperti kamu. Matanya indah, rambutnya terurai dan kulitnya putih. Hidungnya pun seperti kamu, telinganya, hidungnya, suaranya, seperti kamu. Makanya, aku ingin membaca sajak mu itu, bolehkah?”

Dia kembali menggeleng. Namun kini dia bangkit mendekatiku. Kini aku dan perempuan pembuat sajak itu sangat dekat, hanya dipisahkan teralis. Dia memang seperti Savitri. Sayang rambutnya kusam, seperti tak pernah dikeramas. Bibirnya pecah-pecah, pasti tak pernah makan buah jeruk. Dia linglung menatapku, dan matanya jarang berkedip. Dan, sajaknya masih didekap erat-erat.

“Kau bukan harimau?” katanya. Dan aku menggeleng.

“Kau mau membaca sajakku?” katanya lagi. Aku mengangguk senang sekali. Seperti anak kecil yang diberi permen.

Perempuan itu perlahan-lahan melonggarkan dekapan sajaknya. Aku tahu dia akan memberikan sajak itu padaku, aku senang sekali. Cepat, cepat, aku ingin membacanya, aku sudah tidak tahan lagi.

Lalu perempuan itu memberikan sajaknya dan aku menerimanya. “Kau bukan harimau kan?” tanyanya. Aku menggeleng sambil membaca sajaknya sambil tersenyum senang.

“Kembalikan sajakku.” Katanya lagi. “Tidak.” Kataku sambil tak melihat mukanya.

“Kembalikan!”. Dia menyalak. “Tidak” jawabku. Kali ini kulihat wajahnya yang menyala seperti tersulut api. Ada apa ini?, dia tiba-tiba berubah jadi beringas.

Lalu tangannya ingin merebut sajak yang ada ditanganku. Namun berhasil kuhindari. Tapi lantas dia menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke teralis.

“Kembalikan sajakku!, kau pembohong!, kau harimau!, kau penjahat!, kau harimau!” sambil terus membentur-benturkan kepalaku ke teralis jendela.

“Lepaskan!, aku bukan harimau!” aku mencoba berontak, namun jambakannya terlalu kuat, dia seperti kesetanan. Aku masih mempertahankan sajak itu, dan akan ku pertahankan sampai mati!.

Lalu beberapa orang, salah satunya adalah suster Riana, mencoba melepaskan pertikaian kami. Namun perempuan pembuat sajak itu masih belum mau melepaskan aku dan terus berteriak-teriak. Aku lihat teralis itu mulai basah oleh darah dari keningku. Dan teman-temanku yang ada di situ, yang sedang main kapal-kapalan di ember, yang lagi lompat-lompat, bermain lompat tali, yang sedang merenung, bernyanyi-nyanyi, semua tertawa cekikikan melihatku berdarah.

Akhirnya mereka berhasil memisahkan kami. Namun perempuan itu masih saja berteriak-teriak, “Harimau!, harimau!”, sambil ditenangkan oleh suster-suster. Sementara aku terkulai lemas dibawah jendela. Seragam putihku jadi merah karena darah. Namun aku sangat senang, sangat senang, sangat senang, bisa membaca sajaknya, sajak kemarahan Savitri kepadaku. Lalu aku membacanya :

Ooo sangkakala

Mengapa kau belum tertiup juga..

Aku sangat menunggumu sangkakala..

Karena aku ingin membunuhnya di Sana

Di mahligai-mahligai abadi yang jauh

Di hari saat Aku membalas

Di hari saat setan tidak ada,

Aku ingin membunuh Harimau itu..

Malang, April 2006

DI RUANG TUNGGU

Kamu, ya, kamu, yang sedang membaca ini. Sebentar lagi saya akan bercerita kepada kamu. Karena, dengan siapa lagi saya harus berkeluh kalau tidak sama kamu. Jangan marah ya, kalau saya paksa kamu mengikuti alur yang nanti saya berikan. Pandanglah saya sebagai temanmu, itu saja. Kamu pernah punya teman kan?, dan tahu kan hal apa yang paling dibutuhkan seorang teman?, tepat jawabanmu, Eksistensi atau pengakuan keberadaan dari mu. Tanpa itu, tali pertemanan tak akan ada. Dan, sebagai teman juga, saya tidak memaksa kok. Hanya…, minta kamu mendengarkan dan menganggap saya ada.

Saya, saat ini masih duduk di ruang tunggu. Menghisap sebatang rokok dan menyilangkan kaki. Mengepulkan asap yang saya sedot dan menggoyang-goyangkan telapak kaki yang saya silangkan. Kalau kamu bertanya pakai apa saya pada telapak kaki saya, baiklah saya jawab, saya pakai sandal jepit warna hijau. Kamu tahu sandal ini saya dapat darimana?, salah, bukan beli di warung. Hi..hi..hi.., saya malu. Ya sudahlah saya mengaku. Saya mengambil sandal ini saat orang-orang lagi shalat jum’at. Saat saya lewat, kok ada yang menarik perhatian saya di deretan sandal-sandal itu. Entah mengapa, sandal ini begitu menyita perhatian saya. Bersih, seperti baru. Tapi saya yakin, sandal ini baru disikat sama deterjen. Tapi jangan bilang-bilang ya. Kalau kamu bertemu dengan orang yang kehilangan sandal sehabis shalat jum’at, diam saja. Pura-pura tidak tahu saja. Atau…, jangan-jangan malah kamu yang punya sandal ini. Maaf, maaf. Lain kali jangan pakai sandal japit yang baru kamu cuci, pakai sandal yang agak kotor saja. Itu pesan saya.

Huh.., saya mengibas-ngibaskan kerah kemeja saya. Ruangan tunggu ini pengap. Ditambah lagi dengan asap rokok saya. Sepertinya oksigen di ruang ini kalah dengan karbon dioksida yang saya hasilkan. Padahal, di dinding depan saya ada larangan untuk tidak merokok. Namun begitu, saya tetap merokok. Karena, saya orang Indonesia. Karena juga, konon katanya, merokok dapat menghilangkan tekanan stress. Tapi, bisa menimbulkan tekanan darah tinggi dan serangan jantung serta gangguan kehamilan pada janin. Juga, konon katanya, dengan merokok berarti saya ikut sumbangsih sama perekonomian negara. Petani tembakau masih bisa menggarap lahannya, dan pekerja di pabrik rokok tidak di PHK. Tapi itu masih konon.

Pasti kamu bertanya, dengan siapa saya diruang tunggu ini, iya kan?. Benar, seperti tebakan yang terucap dalam hatimu, saya sendirian disini. Diruang tunggu pengap ini. Melamun dan depresi. Mengapa saya belum dipanggil-panggil juga?.

Untuk itu saya harus menunggu. Padahal sudah sejak tadi saya disini. Tapi saya harus menunggu. Dan kamu tahu?, hal yang paling dikhawatirkan oleh semua umat manusia termasuk kamu, ya tepat, adalah menunggu. Kalau saya boleh memilih, saya akan memilih mengkliping cerpen-cerpen yang ada di tukang kertas bekas ketimbang saya harus menunggu. Tapi saya tak punya pilihan lain. Karena menurut saya, menunggu memerlukan kekuatan yang luar biasa. Lebih besar daripada kekuatan yang diperlukan untuk menghukum pejabat-pejabat yang korup. Tapi kalau harus menunggu untuk menghukum pejabat-pejabat yang korup?, wah.., sungguh tak bisa dibayangkan, siapa yang punya kekuatan sedahsyat itu. saya mendingan memilih mati saja.

Di dinding depan saya, ada jendela. Jendela dari kaca yang bertirai. Sebenarnya kalau tirai itu tersingkap, saya bisa mengamati keadaan diluar sana. Tapi tirainya tertutup, dan saya merasa malas untuk membukanya. Dibawah jendela itu juga ada sederetan bangku seperti disisi depannya dimana saya sekarang duduk. Saya melihat koran-koran tercecer dibangku itu. Tapi, saya malas untuk meraihnya. Saya rasa beritanya, ya, tentang itu-itu juga. Nanti malah menambah parah kebosanan saya. Saya diam sajalah dan menunggu perkembangan. Wait for see saja. Saya ini kan wong cilik. Nrimo saja.

Kamu tahu, warna cat dinding-dinding di ruang ini?, biru muda?, bukan, tapi putih. Dan warna lantai keramik diruang ini juga putih. Warna bangku yang saya duduki juga putih. Hi..hi..hi..., celana dalam saya, putih juga. Jangan tertawa, gigimu kelihatan. Saya pesan, kalau kamu tertawa jangan sampai gigimu kelihatan. Saya takut, kalau-kalau kamu baru makan di warung masakan padang. Dan, ada pecahan cabai yang menempel di gigimu. Bayangkan, jika hal itu terjadi saat kamu mau berseranjang dengan istrimu, pasti gairah istrimu akan menurun. Gosok gigi ya, sebelum berseranjang.

Saya benar-benar kesepian diruang tunggu ini. Lama-lama saya tidak tahan juga. Tapi, orang sabar katanya disayang Tuhan. Dan saya ingin juga disayang Tuhan. Walaupun, sandal yang saya pakai adalah sandal yang saya curi ketika orangnya sedang menyembah Tuhan. Dan Tuhan acuh saja tuh, ketika sandal hambanya yang jelas-jelas sedang menyembahNya saya curi. Kamu jangan menyangka yang tidak-tidak ya. Tuhan itu penyayang umatNya. Kamu harus camkan itu baik-baik.

Kamu ingat kan jendela yang saya katakan tadi?, ya, jendela yang tirainya tersingkap tadi. Disampin jendela itu terdapat pajangan-pajangan gambar. Dari lukisan yang menggambarkan alam, poster-poster kesehatan, dan tanggalan.

Saya berdiri. Menggoyang-goyangkan pinggul saya yang mulai terasa pegal, lalu berjalan ke sisi depan saya itu, yang dindingnya ada gambar-gambarnya. Saya mendekati salah satu lukisan tentang alam pegunungan yang didominasi warna hijau. Menyedekapkan tangan, dan mulai mengamati. Lukisan yang indah. Saya yakin, pelukisnya adalah orang yang mendambakan kedamaian. Guratan-guratan cat nya sangat eksotis. Saya merasa damai memandangi lukisan itu. Aliran darah saya seperti berdesir-desir. Nyaman, dan tenang. Kalau kamu melihat lukisan ini seperti saat saya memandangi nya, kamu akan merasakan hal yang sama seperti saya. Saya yakin!. Karena kamu dan saya adalah sama-sama manusia. Dan, hal yang paling didambakan manusia pada hakikatnya adalah kedamaian, kenyamanan, dan ketenangan. Karena tanpa itu, saya atau kamu, pasti akan merasa gelisah. Saya mungkin kehilangan kata-kata bila disuruh mendefinisikan kegelisahan. Kamu bisa menjawabnya sendiri, dalam hatimu. Namun sekali lagi, lukisan itu begitu mengesankan. Siapa ya pelukisnya?, jangan-jangan kamu.

Sudah puas saya menikmati lukisan itu, saya menggeser langkah kesamping. Mencermati sebuah poster tentang bahaya HIV Aids. Warnanya dominasi merah dan hitam. Dan gambarnya adalah seseorang perempuan yang sedang meringkuk. Sebagian tubuhnya terselimuti kain hitam. Seperti kain latar pada pertunjukan teater. Mukanya tak kelihatan. Dibawahnya ada gambar tengkorak dan satu jarum suntik yang ujung jarumnya masih ada darahnya. Tiba-tiba saya merasa merinding. Saya membayangkan jika jarum itu menusuk pembuluh darah saya, dan tiba-tiba pembuluh saya robek. Kemudian darah mengucur dengan deras. Ah, rasanya tangan saya menggigil dan mendesir-desir. Dan dibawah poster itu ada kalimat-kalimat tentang bahaya HIV Aids, penggunaan jarum suntik, serta seks bebas. Pantas saja yang menjadi model di poster itu adalah wanita, bukannya pria. Dan untuk kamu, saya berpesan, gunakan kondom jika nggak tahan pengen ‘jajan’.

Saya membidikan mata ke sebuah pintu. Pintu yang dari tadi mungkin belum saya sebut-sebut. Padahal, pintu itu yang sebenarnya membuat saya menunggu. Karena jika saja pintu terbuka dari tadi, saya tidak akan mengajakmu bicara panjang lebar. Pintu itu terletak di ujung bangku yang saya duduki tadi. Pintu itu belum terbuka juga.

Akhirnya, eh belum, belum akhirnya, mungkin masih lama. Saya harap kamu belum bosan. Karena kalau kamu bosan, siapa yang akan mendengarkan cerita saya ini. Saya menggeser lagi langkah saya. Sekarang saya mengamati sebuah tanggalan. Pertama-tama saya seperti kamu juga, saya mengamati gambar yang ada di bagian atas tanggalan itu. Gambarnya seorang perempuan lagi. Tapi tidak berselimutkan kain latar seperti pada pertunjukkan teater pada poster disamping, perempuan itu hanya pakai bikini di sebuah pantai, Pasadena beach. Mudah-mudahan pikarnmu tidak ngeluyur kemana-mana seperti pikiranku saat ini. Kalau begitu, kamu sudah bisa menebak jenis kelaminku kan?. Sepertinya, wanita memang tidakdirkan jadi bahan eksploitasi yang paling yahut, mendatangkan uang. Beruntunglah kamu jadi kaum pria, He..he..he…

Saya lihat di tanggalan itu, sekarang sudah tahun 2006. Saya merasa sudah tua. Tapi jika saya mengingat-ingat anak-anak saya dirumah, rasanya saya harus memudakan diri lagi. Karena dengan begitu saya punya semangat untuk bekerja. Kamu tahu, pasti tidak. Anak-anak saya masih kecil-kecil. Saya punya empat anak. Bandel-bandel, tapi lucu. Yang paling besar masih duduk di bangku SMP kelas 1. yang paling kecil masih belajar merangkak. Saya takut, kalau-kalau saya tiba-tiba merasa tua dan pengen istirahat. Saya takut kalau anak-anak saya masa depannya suram. Saya tidak ingin anak-anak saya seperti saya. Karena itu, saya ingin giat bekerja dan saya selalu pasang target pada tahun 2010 atau 2015 nanti anak-anak saya sudah harus mandiri. Untuk itu mereka harus! Sekolah. Biar mereka terdidik. Kamu pasti merasakan kan?, kegundahan saya?. Kalau tidak, ya tak apa-apa lah.

Apakah kamu masih disitu?, masih mendengarkan saya diruang tunggu ini?. Saya harap, dan saya berharap, masih. Omongan saya panjang lebar ya?, kalau kamu ingin ngomong sekedar menyela atau memberi saya masukan, ngomong saja. Saya akan sangat senang jika kamu juga menyuarakan suaramu. Ini kan sudah jaman bebas, dan bicara apa saja kan sudah tidak ada yang melarang. Ngomong saja nggak usah ditahan. Baiklah, baiklah, mungkin kamu masih belum bisa bicara dengan saya. Kamu masih tertegun dan susah berkata-kata. Tak apa kok, wajar.

Huh.., pegal juga berdiri terus. Kakiku sepertinya minta istirahat. Saya bisa mendengarkan jeritannya. Kaki saya merintih-rintih. Ya, saya akan duduk. Saya melangkah mendekati bagku itu lagi. Sebelum saya sampai di bangku itu, pintu yang membuat saya menunggu, terbuka. Ha…!!, sepertinya saya ingit menjerit sejadi-jadinya. Tubuh saya mendesir-desir tak karuan. Senangnya bukan kepalang. Kamu juga pasti merasakan apa yang saya rasakan kan?!. Wah…, penungguan yang berusai, segar..!.

Seorang perempuan muda keluar buru-buru dari pintu itu. Dia menutup-nutupi wajahnya seperti malu-malu. Ah, yang seperti itu biasa bagi saya. Dokter kandungan yang ada didalam ruang yang pintunya tertutup tadi keluar. Saya melihat sarung tangan karetnya berlumuran darah. Dokter itu menyuruh saya masuk. Saya berpikir sejenak, pasti saya akan merasakan sakitnya menggugurkan kandungan untuk kedua kalinya. Tapi, demi anak-anak saya, saya harus melakukannya. Rasanya tersiksa jadi pekerja seks yang kebobolan.

Ok!, saya harus masuk. Saya berterima kasih sama kamu, karena telah merelakan telingamu mendengar keluh kesah saya diruang tunggu tadi. Lain kali kita bertemu lagi, dan jangan bosan ya. Dan, kamu pasti salah menebak jenis kelamin saya. he..he..he..

Selasa, 04 September 2007

Pada Batas Malam di Tengah Pararanggi

Pada Batas Malam di Tengah Pararanggi

Pada batas malam. Udara menembus sampai ke tulang. Daun-daun yang siang tadi jatuh mongering, pastilah basah tertimpa embun. Bias terdengar gesekan ranting-ranting yang bergesekan dari pepohonan pinus. Sementara nyanyian burung hantu menembus batas malam ini, menerawang kepekatan malam, memberi tanda antara batas ketakutan, dendam, dan kematian.

Cahaya bulan yang timbul tenggelam antara ranting-ranting pinus. Buolan yang juga muram. Jejak-jejak langkah yang sesekali menjadi derap. Serta hembusan napas yang tak beraturan dari degup jantung yang cepat. Laki-laki itu memegangi paha kirinya yang tertembus timah panas. Sudah sampai tengah hutan, sudah jauh, pikirnya. Rembulan tertutup lebatnya ranting-ranting pinus, pikirnya lagi. Dia merasa sudah tidak terlihat. Kepekatan malam membuatnya aman dari ancaman pengejaran. Dia menyandarkan tubuhnya disebuah pohon pinus. Mengusap peluh, menyeka darah yang melekat anatara jins dan pahanya. Membuka jaket kulit yang dikenakannya. Kemudian melepas kaos hitam yang ia pakai, dan membebatkannya ke lubang paha kiri yang terasa nyeri itu. Ia menjerit lirih seraya memejamkan mata menahan rasa sakit. Semoga darah tak terlalu banyak keluar, harapnya.

Sementara di kejauhan, rombongan obor yang tadi mengejarnya masih menyala-nyala. Seperti lilin di tengah-tengah layar hitam. Rombongan obor itu masih masih menuju ke arahnya. Sambil menyumpah serapahkan namanya. Namun rombongan obor itu kemudian berhenti sejenak, untuk kemudian berbalik arah. Pararanggi, dalam hatinya menegaskan.

Laki-laki itu mencoba berdiri. Merintih-rintih sambil memegangi paha kirinya. Mencari tempat yang agak tinggi. Dari tempat itu, terlihat wajah muram desanya. Dan dari tempat itu pula, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Apa?!, dia lari ke Pararanggi?!”

“Iya, pak. Aku tak bisa menemukannya, ia lari kedalam hutan..”

“Hutan Pararanggi.., hutan itu begitu jahanam. Bapak tak pernah membayangkan, akan bersentuhan dengan nama itu lagi. Dosa apalagi yang telah bapak lakukan nak…”

laki-laki tua itu menjatukan badannya ke kursi rotan. Zan coba menenangkan bapaknya yang sudah semakin rapuh itu. Karena yang ia takutkan adalah jantung bapaknya itu. Namun Sidhanula sama sekali tidak mengkhawatirkan jantungnya. Pikirannya melayang-layang. Terlebih pada keselamatan dua anak laki-lakinya itu, jantung hati yang sesungguhnya.

“Apakah sudah takdir bapak, untuk mengirim kalian ke Pararanggi..?”

“Sudah pak, nanti Zan akan mencarinya, bapak tak usah terlalu khawatir. Ruz pasti bisa menjaga diri…”

“Dari pemberontak..??, dari Pah saki..??”

Zan terdiam. Baginya, pertanyaan itu adalah penegasan dari satu kekhawatiran. Kekhawatiran yang sebentar lagi akan, tidak, pasti dating.

Sidhanula menatap langit-langit rumahnya. Bekas-bekas itu masih belum hilang. Seperti lukisan abadi yang akan terus tergambar. Bahkan kematian tak akan bisa menghapus bekas-bekas itu. Ia usap-usap rambutnya yang semakin memutih. Tangan orang tua itu menonjolkan urat-urat sehingga kulit tangannya semakin terlihat tipis. Ia ingat-ingat wajah si bungsu yang rasanya baru kemarin ia timang-timang bersama Nyah Salemboh istrinya. Dan bayangan pada hari itu akhirnya merangsek paksa ke dalam ingatannya. Memaksanya menahan derita.

Tiba-tiba serombongan tentara memasuki pekarangannya. Sidhanula masih menimang-nimang si bungsu yang sepuluh bulan kemarin terlahir dari rahim Nyah Salemboh. Sementara istrinya sedang memasak gulai kelinci di dapur. Diantara rombongan tentara itu terdapat juga Pah Saki. Matanya yang licik itu tersembul dari barisan belakang rombongan tentara.

“Kau Sidhanula.” Tanya salah satu tentara.

“Benar.” Jawab Sidhanula, sambil mendekap Ruz kecil yang masih tertawa-tawa sumringah di pelukan bapaknya. Mata Sidhanula beralih menatap Pah saki. Pah saki membuang pandang.

“Kau tahu apa akibatnya jika membantu pemberontak?!, sehingga selalu menggagalkan operasi kami?!”

“Apa maksud tuan…”

“Geledah rumahnya!” pekik tentara itu. Rombongan yang lain langsung merangsek mematuhi perintah itu. Pintu itu di dobrak dengan popor senjata.

“Apa-apaan ini!”, Sidhanula menghentikan mereka. Namun dua tentara langsung memegangi Sidhanula. Ruz kecil menangis kencang digendongannya. Sidhanula berontak. Satu tinju mendarat telak di wajahnya. Kemudian tamparan, tinju kedua, ketiga… dan tendangan dari sepatu bot itu tepat mengenai ulu hantinya. Hanya jeritan Nyah Salemboh dari dalam rumah, dan tangisan Ruz yang ia dengar. Dia tak sadarkan diri.

Zan yang saat itu pulang bermain, menangis kencang sambil membangunkan bapaknya yang berlumuran darah. Sementara Ruz kecil masih menangis di samping tubuh bapaknya. Dengan menahan sakit, Sidhanula berhasil sadarkan diri. Mencoba bangun, dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia tersentak, lalu buru-buru masuk kedalam rumah.

“Bapak hanya melihat ibumu terkapar di atas meja, tanpa…”. Sidhanula tak kuasa menahan diri. Linang air mata membasahi wajah tirus tuanya.

“Mengapa bapak sampai bisa dituduh membantu pemberontak..?”

“Bapak kenal beberapa dari, yang dikatakan mereka pemberontak itu. Termasuk pamanmu. Namun bapak tak pernah ikut terlibat. Yang bapak tahu, sampai detik ini mereka masih di dalam Pararanggi. Melakukan perlawanan untuk hal yang diperjuangkannya…”

“Pah Saki…”

“Dia adalah laki-laki yang selalu gagal menarik hati ibumu…”. Mata Sidhanula kembali menatap langit-langit rumahnya. Serasa gambar-gambar itu begitu jelas dimatanya.

“Zaman sudah berubah pak.., mengapa kita tidak menuntut..?”, Zan memegang dua tangan bapaknya.

“Menuntut…?, luka seperti ini tak pernah bisa disembuhkan dengan tuntutan apapun. Lagi pula, siapa yang akan kau tuntut?. Biarlah kebenaran saja yang menuntut. Biarlah masa saja yang akan menunjukkan siapa yang harus dituntut..”

Dari luar, derap serombongan orang terdengar mendekat. Sepertinya kekhawatiran itu akan segera menjelma menjadi sebuah petaka. Zan mendekati jendela, dan mengintip rombongan siapa yang sedang mendekat itu. “Orang-orangnya Pah Saki dan beberapa aparat…”. Sidhanula hanya terduduk. Sesekali memejamkan mata, dan membaca doa-doa. “Ruz, dimanapun engkau, jaga dirimu baik-baik…”, bisik hati Sidhanula.

“Kau larilah yang jauh nak, tinggalkan kampung ini. Cari adikmu, dan tanyakan padanya, mengapa ia membunuh anak laki-lakinya Pah Saki…”

“Tidak!, saya..”

Pintu yang tak terkunci itu didobrak paksa oleh beberapa orang sambil mencari-cari Ruz. Pah Saki yang menggenggam parang, maju menghampiri Sidhanula. Zan tak mampu berbuat apa-apa. Sementara beberapa aparat yang ikut rombongan itu hanya berdiri di dekat pintu.

“Mana anak pemberontak itu, biar kutebas batang lehernya!”

“Kita serahkan saja pada hokum, apakah Ruz benar-benar membunuh atau…”

“Diam kau!, tahu apa kau tentang hukum bocah ingusan!”, kata-kata Zan langsung dipotong oleh Pah Saki.

Beberapa rombongan itu menggeledah seisi rumah. Penggeledahan yang brutal. Sidhanula menatap wajah Pah Saki. Matanya tajam menghunus. Ada kekuatan yang terbelenggu di pancaran mata Sidhanula. Tiba-tiba tubuh tua renta itu bangkit dengan cepatnya, merebut parang yang digenggam Pah Saki, dan menghujamkan parang itu ke selangkangan Pah Saki.

“Zan, Lari!”, perintah Sidhanula bersamaan dengan jeritan Pah Saki yang melolong menahan perih. Orang-orang itu segera mengeroyok Sidhanula. Tebasan kedua tepat mengenai leher Pah Saki sebelum para aparat itu menghujankan timah panas ke tubuh Sidhanula.

Zan yang sempat terdiam beberapa saat, hanya ingat pesan terakhir bapaknya. Lari, temukan adikmu. Segera ia meloncat lewat jendela yang ada di sampingnya. Namun sebutir peluru aparat menembus paha kirinya. Zan terjungkal dari jendela. Beberapa orang mengejarnya. Zan masuk ke ladang jagung dan terus berlari. Bapaknya telah mati, harus ia ceritakan semuanya pada Ruz.

Yang terasa di paha kirinya adalah dingin dan pedih. Bebatan kaus itu ia kencangkan kembali. Rombongan obor yang mengejarnya itu telah menjauh, dan hilang. Namun cahaya yang terang di ujung desa itu menyala terang di tengah-tengah matanya. Membakar semua kejadian yang terjadi sore tadi. Menyisakan rasa yang tak pernah didengar oleh kebenaran. Dari tempat yang agak tinggi di tengah hutan Pararanggi ini, zan terpaku. Dia menyandarkan lagi tubuhnya di bawah pohon pinus. Mengisak dan bertanya, “Dimanakah kau Ruz..?”

Dari arah belakangnya, derap segerombolan orang datang mendekat. Zan sudah pasrah, kalaulah para pengejar itu harus menemukan dirinya pada batas malam di tengah hutan Pararanggi ini, dia ikhlas.

Segerombolan bersenjata itu mengelilingi Zan. Seorang diantaranya membungkukkan tubuhnya, sampai dua muka itu bertemu tatap.

“Kak Nirzan…?”

“Ruznar…”

“Maaf harus meninggalkan kakak dan bapak, dan harus berakhir seperti ini. Siapapun yang menghalagi perjuangan kita harus mati kak, termasuk anak si penjilat itu..”

“Kita…”. Zan melihat wajah orang-orang yang mengelilinginya. Inikah para pemberontak yang menyebabkan bapaknya dituduh dan kehancuran keluarganya itu?, lirih hatinya.

“Kau tahu apa yang baru saja terjadi Ruz…”

Ruz terdiam sejenak. Ia berdiri. Mengalihkan pandangnya ke cahaya yang semakin meredup di ujung kampung itu. Zan, hanya melihat siluet adiknya dari sisa-sisa cahaya bulan yang akan tenggelam.

Malang, September 2007

Jumat, 31 Agustus 2007

Wajah di Atas Bukit

Wajah di Atas Bukit

Rangkaian kejadian dari waktu ke waktu. Menembus batas ingat yang dulu pernah hilang. Malam ini angin tipis saja berhembus. Batas malam menyekat kehidupan. Raungan mimpi-mimpi menelusup masuk tanpa sadar. Sebentar lagi malaikat-malaikat itu beranjak ke langit. Cahaya rembulan pun akan padam di penghujung pagi nanti.

Dari atas sini kulihat wajah mungil kota. Di atas puncak bukit yang tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk melihat kota itu seluruhnya. Wajah kota itu seperti bayi mungil sedang tertidur pulas malam ini. Tanpa dosa. Yang ada hanya senyap, sebenar-benarnya senyap. Bahasa diam berbicara kepadaku, “kota yang indah bukan?, lampu-lampu seperti lilin berjajar indah, dan kabut tipis menelungkupnya seperti hendak menyelimutinya dari bahaya..”. ku sedekapkan tanganku. Sesekali juga ku hisap rokok kretek ini, untuk sekedar menghangatkan badan. Dari atas sini, sungguh, kota itu sangat indah dan teduh.

Tanpa terasa, aku sudah seperempat abad tinggal di kota itu. Menjalani hari-hari ditemani kesibukan. Mengisi rutinitas waktu dengan mengajar di salah satu perguruan tinggi di sana. Perguruan tinggi yang dulu di kenal sebagai masternya pencetak guru. Sangking terkenalnya, bahkan setelah kini telah lama berganti nama pun, nama yang lama masih mulus kudengar dari orang-orang kota itu. Malahan kalau ditanya orang luar pulau tentang nama perguruan tinggi yang sekarang, orang kota itu sering tidak tahu atau salah menyangka. Maklum, perguruan tinggi dimana aku mengabdi sekarang pernah menjadi ikon kota itu.

Di kota itu pulalah aku menemukan hati ku. Yang sekarang telah menjadi separuh nyawaku. Wanita sederhana namun anggun tiada tara. Tak banyak menutut seperti wanita-wanita sekarang. Yang sekarang telah melahirkan para buah hati, sebagai penerus-penerus kami kelak. Dia adalah bidadari yang tak mungkin terganti oleh waktu.

Kembali kutatap kota itu dari atas bukit ini. Sendiri, karena dia dan anak-anak sedang tidur di tenda itu. Karena jam-jam begini puncak bukit ini pasti turun kabut. Dan kabut yang meluruh turun tak baik bagi kesehatan, terlebih dia dan anak-anak. Namun aku senang sendiri menatap kota itu pada situasi seperti ini. Seakan aku melihat gambaran manusia seutuhnya dari sini. Manusia-manusia yang penuh ambisi, yang mendedikasikan waktunya untuk mengejar keinginan. Seribu macam keinginan, sejuta macam ambisi. Dan kesemuanya tertumpah ruah di kota itu. Dari atas sini terlihat semua, mereka sedang tertidur dibuai mimpi-mimpinya.

Untuk aku selalu mewajibkan kami untuk sebulan sekali menikmati malam dari atas bukit ini. Meresapi alam untuk menemukan diri kita sendiri. Serta untuk mendekatkan kita kepada Pencipta dan semua citaanNya, termasuk wajah kota itu. Sebuah kebiasaan yang aku bangun dari mulai aku menjadi mahasiswa dulu. Naik gunung, dan melihat bisunya kota dari puncaknya. Namun kalau dulu bisa satu minggu sekali, kalau sekarang sebulan sekali saja. Atau kalau benar-benar tak ada waktu, ya dua bulan sekali. Aku, istriku dan dua buah hatiku pasti naik bukit ini untuk melepaskan semua kepenatan yang kami alami di kota. Karena aku sangat ngeri melihat tempat-tempat hiburan di kota yang disediakan zaman sekarang. Semuanya tidak punya nilai-nilai pendidikan. Semuanya merusak generasi ini. Aku tidak mau dua buah hatiku terserang pola pikirnya dan menjadi tipe manusia instant, ndak mau mikir, seperti kebanyakan generasi-generasi sekarang. Aku juga ingin anak-anak terlatih berfikir kritis dalam menanggapi persoalan-persoalan yang akan dihadapinya.

Kabut mulai meluruh turun ke bawah. Udara mulai tak sedingin tadi. Namun masih dapat kurasakan tipis embun menyapu bagian luar jaketku. Kota itu masih membisu dalam bahasa yang agung. Suara binatang malam diatas bukit ini menyarankanku untuk membuat perapian kecil untuk menghangatkan badan, sebentar lagi mereka akan bangun dan menikmati wajah kota itu bersamaku. Kukumpulkan ranting-ranting pohon kering, lalu hangat api mulai sedikit menepis dingin ini.

Dua putraku duduk berjajar di samping kanan dan kiriku. Sementara ibunya sedang merebus air untuk membuat mie instant dan minuman penghangat badan. Di perapian ini, kuajak anak-anak meresapi malam dan memandang heningnya kota itu. Kuceritakan indahnya kota itu dahulu. Keramahan penduduknya, keramahan pohon-pohonnya, serta kebanggaan-kebanggaan lain dari kota itu dulu. Mereka tampak antusias dan mendengarkan. Si kecil yang berusia 6 tahun pun bertanya, “Ayah, apakah dulu kota itu penuh bunga?”. Aku tersenyum tipis, lalu menjawab sederhana, “Ya, bunga-bunga warna-warni yang indah dan harum”. Kakaknya yang berusia dua tahun lebih tua menyela, “Lalu kemana bunga-bunga itu sekarang ayah?”. Aku diam sejenak. Memandangi bisunya kota itu untuk menemukan jawabannya. Sejujurnya aku tak seberapa yakin akan jawaban yang akan kuberikan untuk pertanyaan ini. Kedua mata anakku itu memandangiku seperti mengharap sekali aku segera menjawab. Seketika itu istriku datang membawa mie instant dan minuman, seraya memberi jawaban kepada mereka berdua, “Bunga-bunga itu sudah dibeli orang”, dan mengerling tipis kepadaku. Akupun membalas kerlingan itu dengan seyuman dalam hatiku.

Sementara malam semakin meluruh. Langit yang luas, cerah dan lapang, memperlihatkan bintang-bintang. Berjuta bintang-bintang. Berjuta cahaya keindahan. Rembulan memancarkan cahaya syahdunya. Kami berkumpul mengerubungi perapian. Tiada senikmat mie instant dan minuman panas yang disuguhkan istriku di puncak bukit ini. Kuajak mereka menatap kota itu. Kuajak mereka merasakan dan meresapi keindahan kota itu dalam-dalam.

“Ayah, rumah kita yang sebelah mana ya?”, Tanya sikecil memecah kebisuan.

“itu, yang sebelah situ, yang lampunya paling terang”, jawab kakaknya seraya menunjukkan jarinya kesatu titik.

“Bukan, bukan itu kakak, itu kan mall yang gede dan bayak lampunya?, rumah kita itu lampunya redup, nggak kelihatan dari sini..”, bantah sang adik memprotes.

“Itu, yang itu pasti, yang biru warna lampunya..”, sela sang kakak lagi.

“Eh, bukan juga kakak.., itu kan mall juga, yang baru dibangun itu lho..??”, protes sang adik lagi.

Aku dan istriku hanya membiarkan saja seraya tesenyum. Mereka anak-anak yang cerdas. Sementara lampu-lampu kota yang seperti lilin itu terus mengusik imajinasi mereka untuk menemukan rumahnya. Sengaja kami biarkan diskusi anak-anakku itu. Biar mengalir apa adanya sampai tiba waktunya kami ikut menengahi. Bagiku, ini pelajaran bagi mereka untuk selalu menghargai perbedaan. Biar mereka menemukan kebenaran secara alami dari diri mereka sendiri. Ini mengingatkanku pada masa kuliah dulu. Saat aku merasa bebas bicara apa saja, mengkritik apa saja. Aku masih ingat betul saat aku berdebat panjang perihal kebijakan kota yang mengijinkan pembangunan sentra bisnis di area-area hutan kota. Saat itu ada seorang mahasiswi yang tak setuju dengan pemikiranku. Dia sepakat bahwa kemajuan daerah harus diimbangi dengan pembangunan sentra-sentra bisnis pendukung. Karena hal itu merupakan sumber pemasukan daerah untuk mensubsidi kepentingan masyarakat. Tentu saja aku tak terima dengan pemikiranya. Karena bagaimanapun juga hutan kota adalah wilayah resapan hujan sebagai pengendali debit air untuk palang banjir. Namun debat itu tak berkesudahan. Dia tak mau mengalah. Dan hal itu yang menyebabkan aku jatuh cinta padanya. Kini dia menjadi ibunya anak-anakku.

Malam benar-benar meluruh. Pangkal subuh datang dengan sendirinya. Bintang-bintang perlahan-lahan mengundurkan diri. Sementara anak-anak tertidur dipangkuanku. Kota itu masih diam tak bicara. Aku dan istriku memandanginya dengan batin kami masing-masing. Mencoba mengurai makna dari setiap pertanyaan. Mencoba meresapi benar-benar wajah kota itu dipangkal subuh ini. Wajah itu, wajah itu seperti sedang terluka.

Malang, 2007

The Prosesism

...Tujuan bukan yang utama, yang utama adalah PROSES nya....
ku kutip sepenggal syair dari lagunya bang Iwan Fals. karena aku punya keyakinan, bahwa apa yang dilakukan manusia selama hidupnya, adalah sebuah proses yang abadi. walau, ku akui sendiri, untuk mentransendensi makna proses itu sangatlah rumit. kesadaran ku yang naif kadang-kadang terbang, kadang hilang, kadang kritis logis sistematis, kadang juga cuek ngauzubilah setan!. tapi sekali lagi aku sadar, itulah proses. yang meminta kesadaran diatas kesadaran. mengagumi skenario cerdas-Nya, dan tahu batasan sebagai umat-Nya.

untuk semunya yang sempat membaca, inilah catatan pertamaku yang kubuat pada fasilitas gratisan ini. dan perlu tahu juga, ini kali pertama aku buat Blog. setelah tadi beli buku panduan create blog di perpus umum kota malang. sampai tanggal 4 sep nanti, bazar buku murah menanti para bookbuck di tanah malang tercinta ini. tetap gali hikmah dibalik lautan buku yang berisi kata-kata entah, makna yang tak terbaca, dan saduran kalimat indah dari penulis terasing.

kita adalah seorang pelari, yang tak pernah tahu garis finish itu. kita hanya pengamat (observer), yang memperhatikan detail yang terlihat dalam pelarian itu. jangan berhenti berlari, jangan berhenti berproses. detail-detail itu akan memberikan jawaban.

-The Prosesisme-